
Makan Bergizi Gratis: Investasi atau Ancaman Kesehatan?
Beberapa waktu lalu, seorang teman bercerita tentang adiknya yang menjadi penerima manfaat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Sejak sekolahnya menjadi model implementasi program ini, orang tuanya tidak lagi perlu menyiapkan bekal untuk adiknya. Bahkan, sang adik bisa menyisihkan uang sakunya karena tidak harus membeli makan siang. Mendengar cerita itu tentu membuat saya senang, karena anak-anak tidak hanya mendapatkan makanan, tetapi juga bisa belajar menabung sejak kecil.
Namun, tak lama setelah itu, muncul cerita lain yang membuat saya berpikir ulang tentang program MBG. Ternyata, tidak semua anak nyaman dengan menu yang disajikan. Rasa makanan yang tidak konsisten atau sayur yang tampak kurang segar sering membuat mereka tidak menghabiskan jatah makanannya. Lebih jauh lagi, yang paling mengkhawatirkan adalah tingginya kasus keracunan akibat konsumsi MBG yang terjadi di berbagai daerah.
Kita tahu, pemerintah memiliki ambisi besar untuk program MBG. Targetnya, pada akhir 2025 sebanyak 82,9 juta anak Indonesia akan menerima MBG di sekolah. Program ini bahkan menjadi salah satu prioritas nasional dengan alokasi dana mencapai puluhan triliunan rupiah. Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menegaskan bahwa MBG adalah bentuk investasi masa depan untuk mencetak generasi sehat dan berkualitas.
Namun mari kita berhenti sejenak. Apa makna dari “investasi masa depan” jika anak-anak jatuh sakit hari ini? Angka penerima manfaat memang penting, tetapi kualitas makanan jauh lebih krusial. Sejak diluncurkan hingga 28 Agustus 2025 tercatat lebih dari 4000 orang menjadi korban keracunan MBG.
Ini bukan sekadar catatan kecil, melainkan persoalan serius yang harus segera ditangani oleh pemerintah. Saya percaya MBG lahir dari niat baik. Tetapi dalam kebijakan publik, niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan perencanaan yang matang, pengawasan ketat, dan evaluasi berkelanjutan agar sebuah program dapat berjalan dengan baik dan minim resiko. Delapan bulan pelaksanaan seharusnya sudah cukup memberi banyak pelajaran.
Pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium sementara untuk meninjau ulang pelaksanaan MBG, mendengar suara orang tua, guru, dan tentu saja anak-anak itu sendiri. Apalagi, masalah yang muncul bukan sekadar soal rasa yang hambar, melainkan soal keamanan pangan. Jangan sampai anak-anak diperlakukan sebagai target angka di atas kertas demi menunjukkan keberhasilan program.
Pada akhirnya, Makan Bergizi Gratis bukan hanya tentang membuat anak-anak kenyang, tetapi tentang hak dasar mereka untuk tumbuh sehat dengan mendapatkan gizi yang layak. Belum terlambat bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi kebijakan dan perbaikan. Kita, sebagai orang tua, guru, maupun warga negara, juga berhak mengawal implementasi program MBG. Karena sesungguhnya, masa depan bangsa ada di piring makan siang mereka.
Pertanyaannya: apakah isi piring itu benar-benar bergizi, atau justru membawa bahaya?